Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

HUKUM perjanjian

A. PERJANJIAN PADA UMUMNYA
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum  antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak.   Perjanjian adalah sumber perikatan.
A.1.     Azas-azas Hukum Perjanjian
Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:

  1. Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian.
  1. Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas  dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
A.2.  Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan.
  1. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian  harus cakap menurut hukum,  serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian.
Mengenai kecakapan Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang cakap melakukan perbuatan hukum kecuali yang  oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.  Pasal 1330 KUH Perdata menyebutkan orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian yakni:
-          Orang yang belum dewasa.
Mengenai kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
(i)           Menurut Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat pikirannya.
(ii)          Menurut Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila telah mencapai umur 16 tahun.
-          Mereka yang berada di bawah pengampuan.
-          Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
-          Semua orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
  1. Mengenai suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
  1. Suatu sebab yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian  haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan  ketertiban
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan  syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
A.3.    Kelalaian/Wanprestasi
Kelalaian atau Wanprestasi adalah apabila salah satu pihak yang mengadakan perjanjian, tidak melakukan apa yang diperjanjikan.
Kelalaian/Wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dapat berupa empat macam, yaitu:
  1. Tidak melaksanakan isi perjanjian.
  2. Melaksanakan isi perjanjian, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.
  3. Terlambat melaksanakan isi perjanjian.
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
A.4.    Hapusnya Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai berikut:
a.   Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian secara sukarela.  Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402 KUH Perdata).
b. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang piutang itu.
c.   Pembaharuan utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan suatu perjanjian lama.  Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur, krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
d.   Perjumpaan utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara kreditur dan debitur.  Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur, sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
(i)       Apabila penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
(ii)      Apabila dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
(iii)     Terdapat sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak dapat disita (alimentasi).
e.   Percampuran utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur) dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan, misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai ahli waris tunggal oleh krediturnya.
f.   Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala kewajibannya.
g.   Musnahnya barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya.
h.   Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti  permintaan pembatalan perjanjian yang tidak memenuhi   syarat   subyektif  dapat  dilakukan  dengan  dua  cara, yaitu:
(i)       Secara aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
(ii)      Secara pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
  1. i. Berlakunya suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
j.    Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun.  Dengan lewatnya waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
B.       STRUKTUR PERJANJIAN
Struktur atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
  1. Judul/Kepala
  2. Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
  3. Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
  4. Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
  5. Penutup dari Perjanjian.
C.        BENTUK PERJANJIAN
Perjanjian dapat berbentuk:
  • Lisan
  • Tulisan, dibagi 2 (dua), yaitu:
-          Di bawah tangan/onderhands
-          Otentik
C.1.     Pengertian Akta
Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani pihak yang membuatnya.
Berdasarkan ketentuan pasal 1867 KUH Perdata suatu akta dibagi menjadi 2 (dua), antara lain:
a.  Akta Di bawah Tangan (Onderhands)
b. Akta Resmi (Otentik).
Akta Di bawah Tangan
Adalah akta yang dibuat tidak di hadapan pejabat yang berwenang atau Notaris. Akta ini yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak yang membuatnya.  Apabila suatu akta di bawah tangan tidak disangkal oleh Para Pihak, maka berarti mereka mengakui dan tidak menyangkal kebenaran apa yang tertulis pada akta di bawah tangan tersebut, sehingga sesuai pasal 1857 KUH Perdata akta di bawah tangan tersebut memperoleh kekuatan pembuktian yang sama dengan suatu Akta Otentik.
Perjanjian di bawah tangan terdiri dari:
(i)     Akta di bawah tangan biasa
(ii)    Akta Waarmerken, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak.
(iii)   Akta Legalisasi, adalah suatu akta di bawah tangan yang dibuat oleh para pihak  namun  penandatanganannya   disaksikan   oleh  atau di hadapan Notaris,
namun Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.
Akta Resmi (Otentik)
Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta itu.  Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.
Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari para pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian lagi.
Suatu akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
(i)     Akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum.
(ii)    Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.
(iii)   Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
C.2.     Perbedaan antara Akta Otentik dan Akta Di bawah Tangan
No.
Perbedaan
Akta Otentik
Akta Di bawah tangan
1.
2.
3.
4.
5.
Definisi
Materi
Pembuktian
Penggunaannya
Penyimpanan
Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum (a.l. Notaris)
Apa yang tercantum pada isi Akta otentik berlaku sebagai sesuatu yang benar (bukti sempurna), kecuali dapat dibuktikan sebaliknya dengan alat bukti lain.
Bilamana disangkal oleh pihak lain maka pihak yang menyangkal itulah yang harus membuktikan bahwa akta itu tidak benar, dan akta otentik mempunyai tanggal yang pasti.
Dalam hal tertentu mempunyai kekuatan eksekutorial.
Kemungkinan hilang lebih kecil, sebab oleh Undang-undang ditentukan, bahwa Notaris diwajibkan untuk menyimpan asli akta secara rapi di dalam lemari besi tahan api.
Akta yang dibuat oleh dan ditandatangani para pihak
Apa yang tercantum pada isi akta di bawah tangan (tulisan atau tanda tangannya) dapat merupakan kekuatan bukti yang sempurna selama tidak disangkal oleh pihak-pihak yang menggunakan akta tersebut.
Bilamana tulisan atau tanda tangannya disangkal oleh pihak lain, maka pihak yang memakai akta itulah yang harus membuktikan bahwa akta itu adalah benar.
Tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial.
Kemungkinan hilang lebih besar.
Daftar Pustaka
Buku
  1. Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata,  Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
  2. Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Hukum Perikatan dan Perjanjian


Perikatan dan perjanjian adalah suatu hal yang berbeda. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan Undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan.

 

Hukum Perikatan dan Perjanjian

Perikatan dan perjanjian adalah suatu hal yang berbeda. Perikatan dapat lahir dari suatu perjanjian dan Undang-undang. Suatu perjanjian yang dibuat dapat menyebabkan lahirnya perikatan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perikatan adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda “verbintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan.
A. PERIKATAN
Perikatan dalam pengertian luas
Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain.
Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya.
Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris dan sebagainya.
Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya.
Perikatan dalam pengertian sempit
Membahas hukum harta kekayaan saja, meliputi hukum benda dan hokum perikatan, yang diatur dalam buku II KUHPdt di bawah judul Tentang Benda.
Peraturan Hukum Perikatan
Perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata dari pasal 1233-1456 KUH Perdata. Buku III KUH Perdata bersifat :
a. Terbuka, maksudnya perjanjian dapat dilakukan oleh siapa saja asal tidak bertentangan dengan
undang- undang.
b. Mengatur, maksudnya karena sifat hukum perdata bukan memaksa tetapi disepakati oleh kedua belah pihak.
c. Melengkapi, maksudnya boleh menambah atau mengurangi isi perjanjian karena tergantung pada kesepakatan.
Macam-Macam Perikatan
a. Perikatan bersyarat ( Voorwaardelijk )
Suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.
b. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu ( Tijdsbepaling )
Perbedaan antara perikatan bersyarat dengan ketetapan waktu adalah di perikatan bersyarat, kejadiannya belum pasti akan atau tidak terjadi. Sedangkan pada perikatan waktu kejadian yang pasti akan datang, meskipun belum dapat dipastikan kapan akan datangnya.
c. Perikatan yang membolehkan memilih ( Alternatief )
Dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana yang akan ia lakukan.
d. Perikatan tanggung menanggung ( Hoofdelijk atau Solidair )
Diamana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya. Sekarang ini sedikit sekali yang menggunakan perikatan type ini.
e. Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Tergantung pada kemungkinan bias atau tidaknya prestasi dibagi. Pada hakekatnya tergantung pada kehendak kedua belak pihak yang membuat perjanjian.
f. Perikatan tentang penetapan hukuman ( Strafbeding )
Suatu perikatan yang dikenakan hukuman apabila pihak berhutang tidak menepati janjinya. Hukuman ini biasanya ditetapkan dengan sejumlah uang yang merupakan pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan sendiri oleh pihak-pihak pembuat janji.
Unsur-unsur Perikatan
• Hubungan hokum
Maksudnya adalah bahwa hubungan yang terjadi dalam lalu lintas masyarakat, hukum melekatkan hak pada satu pihak dan kewajiban pad apihak lain dan apabila salah satu pihak tidak menjalankan kewajibannya, maka hukum dapat memaksakannya.
• Harta kekayaan
Maksudnya adalah untuk menilai bahwa suatu hubungan hukum dibidang harta kekayaan, yang dapat dinilai dengan uang. Hal ini yang membedakannya dengan hubungan hukum dibidang moral (dalam perkembangannya, ukuran penilaian tersebut didasarkan pada rasa keadilan masyarakat).
• Para pihak adalah Pihak yang berhak atas prestasi = kreditur, sedangkan yang wajib memenuhi
prestasi = debitur.
• Prestasi (pasal 1234 KUH Perdata), prestasi yaitu :
a. Memberikan sesuatu.
b. Berbuat sesuatu.
c. Tidak berbuat sesuatu.
Asas-Asas Dalam Hukum Perikatan
- Asas Kebebasan Berkontrak : Ps. 1338: 1 KUHPerdata.
– Asas Konsensualisme : 1320 KUHPerdata.
– Asas Kepribadian : 1315 dan 1340 KUHPerdata.
• Pengecualian : 1792 KUHPerdata
1317 KUHPerdata
• Perluasannya yaitu Ps. 1318 KUHPerdata.
– Asas Pacta Suntservanda® asas kepastian hukum: 1338: 1 KUHPerdata.
B. PERJANJIAN
Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lainnya atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Perikatan merupakan suatu yang sifatnya abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu yang bersifat kongkrit. Dikatakan demikian karena kita tidak dapat melihat dengan pancaindra suatu perikatan sedangkan perjanjian dapat dilihat atau dibaca suatu bentuk perjanjian ataupun didengar perkataan perkataannya yang berupa janji.
Asas Perjanjian
Ada 7 jenis asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum yang harus diperhatikan oleh setiap pihak yang terlibat didalamnya.
a. Asas sistem terbukan hukum perjanjian
Hukum perjanjian yang diatur didalam buku III KUHP merupakan hukum yang bersifat terbuka. Artinya ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang termuat didalam buku III KUHP hanya merupakan hukum pelengkap yang bersifat melengkapi.
b. Asas Konsensualitas
Asas ini memberikan isyarat bahwa pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat lahir sejak adanya konsensus atau kesepakatan dari para pihak yang membuat perjanjian.
c. Asas Personalitas
Asas ini bisa diterjemahkan sebagai asas kepribadian yang berarti bahwa pada umumnya setiap pihak yang membuat perjanjian tersebut untuk kepentingannya sendiri atau dengan kata lain tidak seorangpun dapat membuat perjanjian untuk kepentingan pihak lain.
d. Asas Itikad baik
Pada dasarnya semua perjanjian yang dibuat haruslah dengan itikad baik. Perjanjian itikad baik mempunyai 2 arti yaitu :
1. Perjanjian yang dibuat harus memperhatikan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
2. Perjanjian yang dibuat harus didasari oleh suasana batin yang memiliki itikad baik.
e. Asas Pacta Sunt Servada
Asas ini tercantum didalam Pasal 1338 ayat 1 KUHP yang isinya “Semua Perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Asas ini sangat erat kaitannya dengan asas sistem terbukanya hukum perjanjian, karena memiliki arti bahwa semua perjanjian yang dibuat oleh para pihak asal memnuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur di dalam pasal 1320 KUHP sekalipun menyimpang dari ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian dalam buku III KUHP tetap mengikat sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuat perjanjian.
f. Asas force majeur
Asas ini memberikan kebebasan bagi debitur dari segala kewajibannya untuk membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena suatu sebab yang memaksa.
g. Asas Exeptio non Adiempletie contractus
Asas ini merupakan suatu pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alasan bahwa krediturpun telah melakukan suatu kelalaian.
Syarat Sahnya Perjanjian
a. Syarat Subjektif
   - Keadaan kesepakatan para pihak
   - Adanya kecakapan bagi para pihak
b. Syarat Objektif
   - Adanya objek yang jelas
   - Adanya sebab yang dihalalkan oleh hukum
Referensi :
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/06/hukum-perikatan-15/
Silondae. Arus Akbar, Fariana. Andi,  ”Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis”, Mitra Wacana Media, 2010

UU Perburuhan Hukum Perburuhan No.12 Th 1948

Hukum Perburuhan
No.12 Th 1948 Tentang Kriteria Status dan Perlindungan Buruh
Undang-undang ini menjelaskan tentang aturan-aturan terhadap pekerja buruh dalam hal persyaratan untuk menjadi seorang buruh, pengaturan jam kerja dan jam istirahat, pemberian upah, perlindungan terhadap buruh perempuan, tempat kerja dan perumahan buruh, tanggung jawab, pengusutan pelanggaran, dan aturan tambahan.
Undang-undang ini berfungsi untuk melindungi buruh dari hal-hal yang tidak diharapkan.
Contoh Kasus :
Sungguh tak enak menjadi pekerja outsourcing. Mereka harus menggantungkan hidup dari kemurahan perusahaan pengguna jasa tenaga kerja (user). Penderitaan buruh outsourcing makin lengkap ketika hubungan kerjanya dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja (agen) hanya terikat dalam perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).
Kondisi itu juga yang dialami Ali, pria paruh baya yang lebih dari 15 tahun menjadi buruh outsourcing. Di tengah isu kenaikan harga BBM -yang biasanya berujung pada kenaikan harga bahan pokok- Ali malah menganggur. PT Bank Mandiri Tbk, user yang mempekerjakan Ali sebagai sopir, memutuskan tidak lagi memakai jasanya. Sialnya lagi, PT Puriasri Bhaktikarya (Puriasri) selaku agen ternyata ikut-ikutan memutus hubungan kerja dengan Ali.
Penderitaan Ali kian bertambah tatkala Bank Mandiri maupun Puriasri sama sekali tidak memberi uang pesangon atau uang penghargaan lainnya. Sepeser pun saya tidak pernah menerima duit dari mereka (Puriasri atau Bank Mandiri-red), ujar Ali lirih. Kini, Ali dibantu Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), sedang berjuang merebut haknya di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta.
Kepada hukumonline, Ali menceritakan hubungan kerjanya dengan Puriasri dimulai sejak 1992. Ia pun langsung ditempatkan di Bank Expor Impor Indonesia, salah satu bank pemerintah yang ikut merger membentuk Bank Mandiri pada bulan Juli 1999. Awalnya tidak ada perjanjian kerja tertulis apapun antara Ali dengan Puriasri. Tanpa sepengetahuannya, pada tahun 1996, Puriasri mengeluarkan PKWT yang berlaku selama tiga bulan.
Setelah itu, Ali ibarat panen PKWT. Pak Ali selalu diperpanjang berulang-ulang PKWT-nya dan tetap bekerja di Bank Mandiri, timpal Timbul Siregar, kuasa hukum Ali. Total PKWT yang ditandatangani Ali mencapai sembilan buah. Masih saya simpan nih, kata Ali sembari memperlihatkan PKWT dimaksud kepada hukumonline.
Bagi Timbul, praktik kerja yang dilakukan Puriasri sudah menyalahi aturan. Alasannya, kontrak kerja yang sudah berkali-kali dan melebihi waktu tiga tahun, secara hukum akan berubah menjadi Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Artinya, Ali seharusnya sudah menjadi pegawai tetap Puriasri. Dengan demikian, Puriasri tidak bisa memutus hubungan kerja Ali secara semena-mena. Butuh penetapan PHI terlebih dulu dan kalau memang diputus demikian, ia berhak atas pesangon dan lain-lain, tegas Wakil Presiden OPSI itu. Fakta berbicara lain. Ali ternyata tidak memperoleh apapun.
Masalah Ali tidak berhenti disitu. Selama di Bank Mandiri, ia mengaku sering dipekerjakan dalam waktu lembur. Upah lembur selalu dibayarkan langsung oleh bank plat merah tersebut ke rekening pribadinya. Kalau upah bulanan saya dapat dari Puriasri, jelasnya. Pada saat terakhir bekerja, ia mengaku menerima upah lembur sebesar Rp9.000 tiap jamnya.
Jika mengacu pada Keputusan Menakertrans No 102/2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur, maka rumusnya upah lembur perjamnya dihitung dari gaji perbulan dibagi dengan 173. Setelah dihitung-hitung, seharusnya upah lembur Pak Ali ini sekitar Rp12.139, terang Timbul.
Merasa hak-haknya dikangkangi, Ali tidak tinggal diam. Ia lantas menempuh jalur penyelesaian hubungan industrial. Mediator Disnakertrans DKI Jakarta memenangkannya. Puriasri dihukum untuk mempekerjakan Ali pada jabatan dan posisi semula. Selain itu, Puriasri juga dianjurkan untuk membayar upah selama proses penyelesaian perselisihan. Namun karena Puriasri tidak menghiraukan anjuran Disnakertrans, Ali melanjutkan perselisihan ke PHI.
Dalam gugatannya, Ali menuntut Puriasri (Tergugat I) untuk dipekerjakan kembali. Sedangkan Bank Mandiri (Tergugat II) dituntut untuk membayar kekurangan upah lembur selama dua tahun sebesar Rp8,4 juta.
Langgar PKWT
Persidangan perkara Ali sudah memasuki tahap jawab-jinawab. Semua dalil Ali dibantah Puriasri. Misalnya, mengenai PKWT yang berulang-ulang. Puriasri berdalih kontrak kerja antara Ali dan Puriasri berjalan insidentil dan terputus-putus, sesuai kemampuan Puriasri memenangkan tender pengadaan jasa di Bank Mandiri.
Agen penyalur tenaga kerja itu juga berdalih PKWT yang dibuatnya tidak menyalahi aturan. Menurut penghitungan Puriasri, sejak 1996 sampai akhir 2007, masa efektif kerja Ali hanya sekitar 18 bulan. Atau masih lebih sedikit dari yang ditetapkan UU No 13/2003 (Ketenagakerjaan), yaitu dua tahun. Dari hal kinerja, Puriasri juga ingin menunjukan kesalahan Ali, seperti menyalahkan Ali ketika ia menghantamkan kendaraan ke trotoar.
Khusus mengenai PKWT berulang-ulang, Reytman Aruan, Kasubag Hukum dan Organisasi Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek Depnakertrans, angkat bicara. Kepada hukumonline, ia menegaskan UU Ketenagakerjaan sudah jelas mengatur hal tersebut. Kalau sudah bertahun-tahun dan berulang-ulang, demi hukum, ia akan berubah menjadi PKWTT, ungkapnya.
Secara tidak langsung Reytman ingin menyatakan bahwa Puriasri telah salah kaprah dalam menghitung masa kerja Ali. Undang-undang menyebutkan PKWT dapat dilakukan untuk maksimal dua tahun dan dapat diperpanjang untuk maksimal satu tahun. Ingat! kata-kata kuncinya yaitu, maksimal. Kalaupun PKWT dilakukan untuk tiga bulan, tiga minggu, tiga hari, tetap saja namanya PKWT dan sudah harus dihitung itu, Reytman menguraikan.
Bank Mandiri juga tidak mau kalah beradu argumen. Bank Mandiri seolah tidak mau tahu apa yang terjadi dengan Ali. Alasannya, Ali hanya memiliki hubungan kerja dengan Puriasri, bukan dengan Bank Mandiri.
Untuk menguatkan dalilnya, Bank Mandiri mengutip Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerja, upah dan perintah. Dalam kasus ini, perjanjian kerja hanya terjadi antara Ali dengan Puriasri. Makanya, Bank Mandiri menolak untuk membayar kekurangan upah lembur Ali.
Mengenai hubungan kerja ini, pakar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia, Prof. Aloysius Uwiyono pernah berpendapat, hubungan kerja dalam outsourcing secara otomatis berpindah dari agen ke user. Hal itu karena unsur perintah dan pekerjaan berasal dari user. Sementara unsur upah, meski yang membayarkan kepada buruh adalah agen, tapi uangnya berasal dari user.
Komentar :
Outsourcing adalah penyerahan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain diklaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis. Kerugian dari pekerjaan outsourcing adalah pekerja bekerja di bawah perintah perusahaan yang melakukan perjanjian dengan perusahaan tempat mereka bekerja, sehingga pekerja outsourcing merasa dirugikan dalam financial upah, jam kerja, dan tidak ada kenaikan tingkat dalam jenjang karir.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

hukum perdata

Hukum perdata adalah aturan – aturan atau norma – norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan – kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan – kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang – orang dalam suatu masyarakat tertentu yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas.
pengantar
Pada dasarnya kehidupan antara seseorang itu didasarkan pada adanya suatu “hubungan”, baik hubungan atas suatu kebendaan atau hubungan yang lain. Adakalanya hubungan antara seseorang atau badan hukum itu tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan, sehingga seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Sebagai contoh sebagai akibat terjadinya hubungan pinjam meminjam saja seringkali menimbulkan permasalahan hukum. Atau contoh lain dalam hal terjadinya putusnya perkawinan seringkali menimbulkan permasalahan hukum.
Ketentuan mengenai hukum perdata ini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) atau lebih dikenal dengan BW (Burgelijke Wetboek).
Sistematika Hukum Perdata menurut BW terdiri atas 4 buku:
BUKU I              :  Tentang orang (van personen)
Yaitu memuat   hukum tentang diri seseorang dan hukum keluarga.
BUKU II             : Tentang benda (van zaken).
Yaitu memuat hukum kebendaan serta hukum waris.
BUKU III            : Tentang perikatan (van verbintenissen)
Yaitu memuat hukum kekayaan yang mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau pihak-pihak tertentu.
BUKU IV           : Tentang pembuktian dan daluarsa (van bewijs en verjaring) (memuat ketentuan alat-alat bukti dan akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum)
Hukum perdata merupakan hukum yang meliputi semua hukum “Privat materil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum perdata terdiri atas :
Hukum Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal-hal yang diatur dalam hukum perkawinan adalah :
-          Syarat untuk perkawinan
Pasal 7:
(1)  Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
-          Hak dan kewajiban suami istri
Pasal 31:
(1)  Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)  Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
-          Percampuran kekayaan
Pasal 35:
(1)  Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2)  Harta bawaan dari masing-masaing suami dan isteri,dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan,adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan  lain.
-          Pemisahan kekayaan
Pasal 36:
(1)  Mengenai harta bersama,suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
(2)  Mengenai harta bawaan masing-masing,suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
-          Pembatalan perkawinan
-          Perjanjian perkawinan
-          Perceraian
Hukum Kekeluargaan
Hukum kekeluargaan mengatur tentang :
-          Keturunan
-          Kekuasaan orang tua (Outderlijke mactht)
-          Perwalian
-          Pendewasaan
-          Curatele
-          Orang hilang
Hukum Benda
  1. Tentang benda pada umumnya
Pengertian yang paling luas dari perkataan “Benda” (Zaak) ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang.
  1. Tentang hak-hak kebendaan :
a)        Bezit,
Ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olahkepunyaan sendiri, yang ole hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.
b)        Eigendom,
Ialah hak yang paling sempurna atas suatu benda seorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan,, bahkan merusak)
c)        Hak-hak kebendaan di atas benda orang lain,
Ialah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan.
d)        Pand dan Hypotheek,
Ialah hak kebendaan ini memberikan kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi dijadikan jaminan bagi hutang seseorang.
e)        Piutang-piutang yang diberikan keistimewaan (privilage)
Ialah suatu keadaan istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang melulu berdasarka sifat piutang.
f)         Hak reklame,
Ialah hak penjual untuk meminta kembali barang yang telah dijualnya apabila pembeli tidak melunasi pembayarannya dalam jangka waktu 30 hari.
Hukum Waris
1)    Hak mewarisi menurut undang-undang
2)    Menerima atau menolak warisan
3)    Perihal wasiat (Testament)
4)    Fidei-commis
Ialah suatu pemberian warisan kepada seorang waris dengan ketentuan, ia wajib menyimpan warisan itu dan setelah lewat suatu waktu atau apabila si waris itu sendiri telah meninggal warisan itu harus diserahkan kepada seorang lain yang sudah ditetapkan dalam testament.
5)    Legitieme portie
Ialah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan.
6)    Perihal pembagian warisan
7)    Executeur-testamentair dan Bewindvoerder
Ialah orang yang akan melaksanakan wasiat.
8)    Harta peninggalan yang tidak terurus
Hukum Perikatan
Ialah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
Hukum perikatan terdiri atas :
  1. Perihal perikatan dan sumber-sumbernya
  2. Macam-macam perikatan
  3. Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang
  4. Perikatan yang lahir dari perjanjian
  5. Perihal resiko, wanprestasi dan keadaan memaksa
  6. Perihal hapusnya perikatan-perikatan
  7. Beberapa perjanjian khusus yang penting
SISTEMATIKA HUKUM PERDATA MENURUT ILMU PENGETAHUAN
Sistematika Hukum Perdata menurut ilmu pengetahuan dibagi dalam 4 bagian yaitu:
  1. Hukum Perorangan atau Badan Pribadi (personenrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya.
  1. Hukum Keluarga (familierecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan anak,perwalian,curatele,dan sebagainya.
  1. Hukum Harta Kekayaan (vermogenrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian,milik,gadai dan sebagainya.
  1. Hukum Waris(erfrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.
PERKEMBANGAN PEMBAGIAN HUKUM PERDATA
Pada mulanya zaman Romawi secara garis besar terdapat 2 kelompok pembagian hukum,yaitu:
  1. Hukum Publik Adalah hukum yang menitikberatkan kepada perlindungan hukum,yang diaturnya adalah hubungan antara negara dan masyarakat.
  2. Hukum Privat Adalah kumpulan hukum yang menitikberatkan pada kepentingan individu. Hukum Privat ini biasa disebut Hukum Perdata atau Hukum Sipil.
Pada perkembangannya Hukum Perdata/Privat ada 2 pengertian:
1)    Hukum Perdata dalam arti luas
yaitu:
Hukum Perdata yang termuat dalam KUHS/Burgerlijk Wetboek/BW ditambah dengan hukum yang termuat dalam KUHD/WvK(Wetboek van Koophandel)
2) Hukum Perdata dalam arti sempit,yaitu Hukum Perdata yang termuat dalam KUHS itu sendiri.
Hukum Perdata di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok:
1. Hukum Perdata Adat:
Berlaku untuk sekelompok adat
2. Hukum Perdata Barat:
Berlaku untuk sekelompok orang Eropa dan Timur Asing
3. Hukum Perdata Nasional:
Berlaku untuk setiap orang,masyarakat yang ada di Indonesia
Berdasarkan realita yang ada,masih secara formal ketentuan Hukum Perdata Adat  masih berlaku(misalnya Hukum Waris) disamping Hukum Perdata Barat.
Unifikasi Hukum Perdata:Penseragaman hukum atau penyatuan suatu hukum untuk diberlakukan bagi seluruh bangsa di seluruh wilayah negara Indonesia.
Kodifikasi: Suatu pengkitaban jenis-jenis hukum tertentu secara lengkap dan sistematis.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS