Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Etika Pemerintahan

Dalam hubungannya dengan kegiatan pemerintahan, dikenal legitimasi sebagai dasar untuk mengukur etika dalam kekuasaan pemerintahan. Pemerintah yang mempunyai legitimasi etis adalah pemerintah yang dalam perbuatannya menyesuaikan dasar-dasar kekuasaannya dengan norma-norma moral yang berlaku dalam masyarakat. Menurut Max Weber, ciri-ciri legitimasi etis adalah, 1) Penyesuaian persoalan-persoalan kekuasaan secara etis, dalam arti berdasarkan nilai-nilai moral dalam masyarakat; 2) Perilaku kekuasaan didasarkan landasan etika yang dihubungkan dengan ajaran atau ideologi;
3) Setiap perbuatan dilakukan secara umum dan tidak hanya kepentingan tertentu (vested interest).
Etika lebih banyak berbicara tentang baik dan buruk, bukan benar atau salah sebab yang berbicara tentang benar atau salah adalah hukum. Baik dan buruk lebih didasarkan norma dan tata krama yang pada umumnya tidak tertulis tetapi telah disepakati oleh masyarakat sebagai suatu tata nilai. Setidak-tidaknya dalam organisasi dikenal 3 (tiga) macam etika, yaitu etika individu, etika organisasi, dan etika profesi. Etika perorangan menentukan baik atau buruk perilaku orang per orang (individu), dalam hubungannya dengan individu lain. Sementara etika organisasi itu sendiri menggariskan konteks tempat keputusan-keputusan etika persorangan yang justru harus dimiliki oleh orang yang menjadi pengabdi masyarakat (public servant).
Etika organisasi sebagai aturan (ethics of rule) yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur termasuk di dalamnya sistem insentif, dan disinsentif dan sanksi-sanksi berdasarkan aturan. Sedangkan etika profesional berlaku dalam suatu kerangka yang diterima oleh semua yang secara kaku atau secara moral mengikat mereka dalam kelompok profesi yang bersangkutan. Etika profesional yang dikembangkan dan dilembagakan dalam bentuk "kode etik". Kode etik ini memperkuat dengan sistem hukum atau mengikat secara moral dalam menjalankan tugas profesinya.
Ketiga macam etika tadi, idealnya dapat diikuti dan dipatuhi dan sekaligus dijadikan pedoman, pegangan, dan referensi, dalam menjalankan pekerjaan profesinya. Untuk menghindari adanya kooptasi politik antara kepala daerah dengan DPRD maupun sebaliknya perlu dijalankan melalui prinsip check and balances, artinya adanya keseimbangan serta merta adanya pengawasan terus-menerus terhadap kewenangan yang diberikannya. Dengan demikian anggota DPRD dapat dikatakan memiliki akuntabilitas, manakala memiliki "rasa tanggung jawab" dan "kemampuan" yang profesional dalam menjalankan peran dan fungsinya tersebut.
Mekanisme check and balances memberikan peluang eksekutif untuk mengontrol legislatif. Walaupun harus diakui oleh DPRD (legislatif) memiliki posisi politik yang sangat kokoh dan seringkali tidak memiliki akuntabilitas politik karena berkaitan erat dengan sistem pemilihan umum yang dijalankan. Untuk itu ke depan perlu kiranya kepala daerah mempunyai keberanian untuk menolak suatu usulan dari DPRD terhadap kebijakan yang menyangkut kepentingannya, misalnya kenaikan gaji yang tidak masuk akal, permintaan tunjangan yang berlebihan, dan membebani anggaran daerah untuk kegiatan yang kurang penting. Mekanisme check and balances ini dapat meningkatkan hubungan eksekutif dan legislatif dalam mewujudkan kepentingan masyarakat.
DPRD sebagai lembaga legislatif yang kedudukannya sebagai wakil rakyat tidak mungkin melepaskan dirinya dari kehidupan rakyat yang diwakilinya. Oleh karena itu secara material mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. DPRD sebagai wakil rakyat dalam tindakan dan perbuatan harus menyesuaikan dengan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam kebudayaan rakyat yang diwakilinya. Dengan demikian DPRD tidak akan melakukan perbuatan yang tidak terpuji, menguntungkan pribadi dan membebani anggaran rakyat untuk kepentingannya. Dengan memahami etika pemerintahan diharapkan dapat mengurangi tindakan-tindakan yang tercela, tidak terpuji dan merugikan masyarakat.
Untuk itu perlu kiranya dibuatkan "kode etik" untuk para anggota DPRD yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan peran dan fungsinya, sehingga kewenangan yang besar juga disertai dengan tanggung jawab yang besar pula. Sosok ideal DPRD yang bermoral, aspiratif dengan kepentingan rakyat, dan selalu memperjuangkan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Kuncinya baik eksekutif maupun legislatif harus terjalin komunikasi timbal balik dan adanya keterbukaan di antara para pihak dalam penyelesaian segala permasalahan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Harapan-harapan tersebut dapat terwujud dengan adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, yang akan memperkuat posisi kepala daerah sehingga dapat menjadi mitra yang baik bagi DPRD dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi. Peran dan fungsi DPRD akan terjadi perubahan yang cukup signifikan seiring dengan pengurangan kewenangan yang dimilikinya tersebut. Dengan adanya keseimbangan hak dan kewenangan tersebut antara eksekutif dan legislatif diharapkan korupsi yang marak terjadi di DPRD (legislatif) dapat berkurang seiring dengan pematangan demokrasi dalam kehidupan masyarakat. Terwujudnya clean and good governance merupakan harapan kita semua. Semoga!***


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar